SKB 5 Menteri
SK Lima Menteri Menghebokan Dunia Pendidikan
Surat Keputusan Bersama Lima Menteri (Menteri Pendidikan Nasional, Meneg PAN dan Reformasi Birokrasi, Mendagri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama), NOMOR 05/X/PB/2011, NOMOR SPB/03/M.PAN-RB/10/2011, NOMOR 48 Tahun 2011, NOMOR 158/PMK.01/2011, dan NOMOR 11 Tahun 2011, Tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil, merupakan lonceng kematian bagi para Guru Tidak Tetap (GTT), khususnya yang mengabdi di sekolah-sekolah negeri. Peraturan Bersama Lima Menteri ini menegaskan (kembali) kewajiban guru PNS untuk mengajar di depan kelas minimal 24 jam per minggu.
Latar belakang SK
Menurut Menteri Kemendikbud, Mohammad Nuh, Kondisi guru di Indonesia ini sejatinya mencukupi. Tapi gara-gara ada ketimpangan distribusi, maka ada sekolah tertentu di daerah tertentu kekurangan guru. Bahkan, ada mata pelajaran tertentu di sekolah tertentu, yang juga kekurangan guru. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Pendidikan Musliar Kasim menjelaskan, SKB lima menteri juga dibuat untuk menjawab keluhan dan permasalahan terkait distribusi guru. Sebab, di beberapa daerah seringkali ditemukan jumlah guru yang melebihi kebutuhan, sedangkan di daerah lainnya justru kekurangan guru.
Roh atau semangat dari dalam SKB itu adalah untuk menarik seluruh urusan tata kelola guru yang ditangani oleh pemerintah kabupaten/kota menjadi wewenang propinsi dan pusat. Dengan diterbitkan SKB tersebut diharapkan pengelolaan guru menjadi lebih baik sehingga dunia pendidikan negeri ini akan mampu melahirkan generasi yang baik, generasi yang beriman dan berakhlak shaleh.
Tujuan SK
Menurut Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Pendidikan Musliar Kasim, SKB lima menteri dirumuskan untuk peningkatan mutu pendidikan di seluruh Indonesia dengan menarik kembali urusan guru dari kabupaten/kota ke provinsi dan pusat. Dengan adanya SKB lima menteri, kami mempunyai otoritas untuk mendistribusikan guru.
Sesungguhnya, SKB ini sangat positif karena memungkinkan mobilitas guru menjadi meningkat, khususnya ketika ingin memenuhi syarat minimal 24 jam mengajar dalam seminggu untuk mendapatkan tunjangan profesi.
Sebelumnya kewajiban mengajar minimal 24 jam per minggu di depan kelas bagi guru PNS telah dilaksanakan, namun dalam praktiknya banyak sekolah yang mengembangkan struktur program kurikulum maksimal. Struktur program kurikulum maksimal ini selain untuk meningkatkan mutu pembelajaran sekaligus untuk menambah jam pelajaran sehingga kewajiban mengajar minimal 24 jam dapat terpenuhi. Berdasar Surat Keputusan Bersama Lima Menteri ini, sekolah harus melakukan penghitungan beban mengajar dengan struktur kurikulum minimal. Konsewkensinya sebagian guru PNS tidak mampu memenuhi kewajiban mengajar 24 jam.
Efektivitas Pelaksanaan SK
Menurut Menteri Kemendikbud Mohmmad Nuh, untuk realisasi SKB lima Menteri ini ditentukan oleh peran aktif dinas pendidikan di daerah dalam mengolah data guru. Kepala Bidang Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan (PMPTK) Sumut, Edward Sinaga mengatakan ”Biarlah ada SKB lima menteri itu, asalkan tetap ada perpanjangan tangan. Perpanjangan tangan itulah provinsi yang nantinya menentukan dan menetapkan dimana guru-guru itu bertugas nantinya. Pemerintah provinsi masih terus melakukan pendataan guru-guru di kabupaten/kota untuk mengetahui jumlah guru di kab/kota untuk dilakukan penyesuaian. Diharapkan akhir tahun ini sudah selesai pendataan, dan bisa diketahui daerah mana saja yang over guru dan kekurangan guru nantinya untuk dilakukan penataan dan pemerataan sesuai kebutuhan. Pendataan tersebut akan dilaporkan ke pusat. Sehingga, pusat yang akan menempatkan tugas para guru-guru itu.
“Jadi, kedepannya tidak ada lagi wewenang kabupaten/kota untuk mengatur penempatan guru, sehingga penempatan guru-guru khususnya PNS akan merata. Karena sesuai tugas dan kewajibannya, guru PNS itu harus siap ditempatkan dimana saja”.
Subagyo Brotosejati, ketua PGRI Jateng menegaskan, kalau SKB itu mau dilaksanakan dengan efektif dan bermanfaat serta bermartabat, maka harus ada koordinasi dengan pejabat di tingkat kabupaten / kota. ”Harus ada sinergitas yang komprehensif dengan pejabat kabupaten / kota, agar persebaran, pemindahan dan atau mutasi guru benar-benar berdasar kebutuhan, bukan mendasarkan pada like and dislike. Khusus untuk Jawa Tengah, persebaran itu harus benar-benar dipertimbangkan matang-matang, karena 2015 nanti kita menghadapi puncak ledakan guru yang pensiun. Seharusnya mulai sekarang ini, Diknas kabupaten / kota harus mempunyai maping terkait kebutuhan guru di wilayahnya. Jangan sampai di sebuah sekolah guru untuk mapel tertentu menumpuk, sementara di sekolah lain, guru mapel itu tidak ada. Maping itu penting, agar persebaran guru benar-benar tepat sasaran dan membawa manfaat”.
Kendala SK
SKB yang secara prinsip memiliki semangat untuk meretribusi guru yang selama ini penataannya belum berjalan rapi karena banyak daerah yang jumlah gurunya terlalu “kegemukan” namun ada juga daerah yang kekurangan guru alias “krontang”.
Kendalanya adalah otonomi daerah. UU nomer 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah juga menjadi salah satu batu sandungan dari pelaksanaan SKB itu. Karena dengan otonomi itu, setiap daerah merasa mempunyai hak untuk terus mengangkat dan mengangkat guru baru dan menempatkannya di sekolah yang diingat tanpa melihat peta persebarannya. Skala kebutuhan akan guru mapel tertentu, terkadang diabaikan, karena Diknas setempat tidak mempunyai akurasi data terkait kebutuhan guru di sebuah sekolah. Selain itu, guru baru juga cenderung ingin ditempatkan di sekolah favorit meski dengan beban jam mengajar yang sedikit. Semuanya itu pastinya terkait dengan materi. Karena di sekolah favorit, kemungkinan untuk mendapatkan bonus dan lainnya, lebih besar dibandingkan kalau misalnya guru baru itu ditempatkan di sekolah pinggiran dengan beban mengajar yang padat tapi minim bonus.
Bisakah SKB itu mempercepat capaian tujuan pendidikan nasional ? Menurut Subagyo Brotosejati ketua PGRI Jawa Tengah, hal itu masih ada tanda tanya besar yang harus dijawab. Karena di lapangan, implementasi SKB itu akan berbenturan dengan ego pejabat birokrat di kabupaten kota yang masih merasa punya hak untuk memindahkan, memutasi dan atau sejenisnya tanpa perlu menjelaskan alasannya. Otonomi daerah menjadikan pejabat birokrat sebagai raja-raja kecil dengan kewenangan besar. Kewenangan wajib bidang pendidikan yang dipunyai daerah, akan menjadi batu sandungan, kalau tidak direvisi. Itu tidak akan menjadi masalah kalau pemda dilibatkan, dengan menyiapkan sebaran dan kebutuhan guru di tiap wilayah secara akurat dan kredibel. Dan itulah yang harus ditata dulu, kalau ingin SKB itu bisa berjalan dengan baik dan sukses serta bermanfaat.
Dampak SK
Lebih jauh dalam Petunjuk Teknis Surat Keputusan Bersama (SKB) ini mengatur, bagi guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar harus mencari sekolah lain, atau alih tempat tugas, baik sesama jenjang, antar jenjang, bahkan antar kabupaten/kota. Dampak lebih jauh, banyak Guru Tidak Tetap (GTT) yang mengabdi di sekolah negeri terpaksa harus 'dilucuti' jam mengajarnya dan dialihkan kepada guru PNS.
Petunjuk teknis (juknis) surat keputusan bersama (SKB) lima menteri mencantumkan bahwa untuk mengatasi kekurangan jam tatap muka bagi guru maka diatur tiga hal, yakni menentukan jumlah siswa per kelas, membuka kelas baru dengan cara menambah ruang kelas, dan mengizinkan guru untuk mengajar di sekolah lain (sekolah negeri). Mengajar di sekolah lain belum tentu juga efektif karena karena guru yang disana juga kekurangan jam mengajar. Menurut Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti, saat ini masih banyak sekolah yang tidak melaksanakan aturan berlaku. Dalam juknis SKB, setiap kelas untuk jenjang SMA seharusnya diisi oleh 20-32 siswa. Pada kenyataannya, aturan itu tidak dijalankan oleh banyak sekolah.
Lihat saja, masih banyak sekolah yang menampung sampai 40 siswa untuk satu kelas. Itu mempengaruhi kesempatan guru memenuhi jumlah mengajarnya.
Hambatan lainnya, kata Retno, adalah kurangnya jumlah ruang kelas. Hal itu terjadi karena banyak sekolah yang menampung siswa lebih dari jumlah yang ditentukan. Agar sesuai aturan, pemerintah perlu menyiapkan dana yang cukup untuk menambah jumlah ruang kelas.
SKB tersebut memperhitungkan jam mengajar dengan pembulatan ke bawah. Retno mencontohkan, dua jam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) dikali 18 rombongan belajar sama dengan 36 jam lalu dibagi 24 jam hasilnya 1,5 namun dibulatkan menjadi 1 jam. Artinya sekolah tersebut hanya membutuhkan satu guru yang wajib mengajar 36 jam dengan jumlah murid 720 orang.
Akibat rumus pembulatan tersebut, ujarnya, banyak guru yang tidak memperoleh 24 jam di tempatnya bertugas dan bahkan ada guru yang dianggap hanya mendapat nol jam yang diberikan atas dasar senioritas dan bukan kompetensi atau prestasi.
Untuk mengejar 24 jam maka guru pun diharuskan mengajar di dua atau empat sekolah lain yang jaraknya jauh. Retno mencontohkan, untuk di Jakarta masih mending, namun di daerah mereka membutuhkan waktu dan biaya tinggi untuk mengajar di sekolah lain,”. Selain itu, perlu dibukanya kesempatan bagi seluruh guru agar bisa memenuhi waktu mengajarnya (minimal 24 jam) di sekolah-sekolah swasta. Menurut Retno, langkah itu dapat dijadikan solusi alternatif untuk mengatasi kesulitan guru memenuhi minimal waktu mengajar dan menghilangkan kesan diskriminasi karena siswa di sekolah swasta memiliki kesempatan diajar oleh guru yang kompeten.
Ketua Umum Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti di Jakarta menjelaskan, lebih lanjut mengatakan, sebelum ada SKB itu beban mengajar mata pelajaran tertentu dibagi merata kepada sejumlah guru yang ada di sekolah. Namun, setelah keluarnya aturan itu, setiap guru wajib memiliki beban mengajar minimal 24 jam pelajaran per minggu. Resiko dari aturan ini, beban jam pelajaran untuk beberapa guru akhirnya disunat lalu diberikan kepada guru lainnya. Dari pantauan kami, ada jam guru senior diberikan ke guru juniornya. Kami khawatir bisa menimbulkan konflik sesama guru. Retno mengatakan, saat ini guru yang telah memiliki beban mengajar 24 jam pelajaran per minggu, cemas dengan keberadaan guru-guru yang beban jam mengajarnya belum genap. Mereka bisa sinis, karena takut jam mengajarnya diambil guru lain. Di sisi lain, Retno mengatakan guru yang belum genap beban jam mengajarnya, berlarian mencari sekolah negeri lain untuk menggenapi aturan beban mengajar tadi.
Tenaga honorer pun berpotensi dipecat dari sekolah negeri. Pasalnya, untuk mencapai target 24 jam mengajar maka sekolah negeri memprioritaskan guru PNS untuk mencari tambahan jam mengajar di sekolahnya. Namun guru honorer yang mengajar Bahasa Jepang, Jerman dan Komputer masih aman karena tidak banyak guru PNS yang mempunyai kemampuan itu. Namun guru honorer dibidang Kimia, Fisika dan Biologi akan terancam dipecat.
Mendikbud Mohammad Nuh mengharapkan agar para guru tetap fokus dalam mengajar di sekolah jangan seperti tukang dagang yang keliling dari tempat satu ke tempat yang lain menjajakan dagangannya. Jika hal ini yang terjadi maka konsentrasi guru untuk mengajar terpecah karena harus disibukan dengan mencari sekolah lain agar bisa memenuhi beban mengajar. Ia meminta kepada dinas pendidikan daerah agar berperan aktif agar bisa membantu persoalan pemenuhan beban kerja ini.
SKB lima menteri tentang guru yang diterbitkan untuk menata guru ternyata membuat guru kocar-kacir alias ngibrit.
Sanksi Jika Tidak Melaksanakan
Dalam SKB tersebut memerintahkan kepada bupati atau wali kota untuk melaksanakan penataan dan pemerataan guru di setiap jenjang pendidikan. Selambat-lambatnya Januari 2012 hal tersebut sudah rampung di kabupaten. Sebab pada Maret, gubernur harus sudah menyampaikan usul tersebut ke lima kementerian terkait.
“Bagi bupati atau wali kota yang tidak melaksanakan akan diberikan sanksi oleh kementerian terkait, Bagi bupati atau wali kota yang tidak menjalankannya, Kementerian Dalam Negeri akan mengurangi nilai kinerja bupati atau wali kota. Kementerian Keuangan akan mengurangi bantuan dana perimbangan. Sedangkan Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memberi sanksi berupa tidak akan memberikan formasi PNS guru kepada daerah yang tidak melaksanakannya. Sementara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mengurangi bantuan dana ke sekolah.
SKB ini berisi kesepakatan kerja sama dan bentuk dukungan dalam hal pemantauan, evaluasi, dan kebijakan penataan serta pemerataan guru secara nasional. Akan tetapi, pada pelaksanaannya dinilai banyak dampak negatif yang muncul. Di antaranya ancaman mutasi secara besar-besaran dan tersingkirnya guru PNS yunior dan guru honorer dari sekolah negeri.
Bagi guru PNS juga terancam tidak mendapat tunjangan sertifikasi karena hanya diperbolehkan menutupi kekurangan jam mengajarnya di sekolah negeri saja. Padahal selama ini banyak guru PNS yang mengajar di sekolah swasta miskin tanpa dibayar untuk mengejar target 24 jam. “Bagi mereka lebih baik tidak mengejar 24 jam untuk mendapatkan tunjangan karena biaya mengajar ke sekolah lain lebih tinggi daripada nominal tunjangan yang didapat
Kesimpulan
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri tentang penataan dan pendistribusian guru menimbulkan banyak permasalahan. Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti mengatakan, dalam implementasinya, SKB tersebut menimbulkan kekacauan, ketidakharmonisan di antara guru dan banyak guru kehilangan pekerjaan serta terancam dicabut tunjangan sertifikasinya
Jadi Dunia pendidikan Kini cukup dihebohkan adanya SKB 5 Menteri mengenai pemerataan jam mengajar dan efisiensi waktu guru dalam mengajar. Banyak guru yang Resah dengan kebijakan ini. Karena tuntutan mengajar minimal 24 jam dalam seminggu. Beberapa hal yang membuat guru galau:
1. Kekurangan jam mengajar
Ketika SKB tersebut diberlakukan maka banyak guru yang kekurangan jam mengajar untuk memenuhi target peraturan 24 jam
2. Terancamnya tunjangan profesi
Kini sudah banyak guru yang menikmati tunjangan sertifikasi dengan tuntutan minimal 24 jam. Ketika jam tersebut tidak dipenuhi maka tunjangan tersebut akan dicabut.
3. Mengancam guru dan Sekolah swasta
Guru swasta yang telah mengajar biasanya posisinya akan terancam oleh guru negeri yang mencari jam di sekolah swasta. Konflik yang terjadi adalah guru swasta jamnya digusur oleh guru negeri tersebut.
Sekolah swasta yang mendapatkan sebagian besar gurunya PNS terancam keberadaannya karena guru PNS kemungkinan besar ditarik ke sekolah negeri demi mentaati SKB Lima menteri tersebut.
4. Tidak konsen mengajar
Ketika terlalu berat tuntutan yang diberikan maka peserta didik yang menjadi korban, karena guru juga memiliki tugas yang lain selain mengajar. Misalnya analisis soal, bimbingan siswa dan tugas administrasi yang lain.
5. Hilangnya budaya ilmiah
Dengan banyaknya jam mengajar yang harus dipenuhi akan menyebabkan hilangnya waktu bagi para guru untuk membaca dan menulis
Sumber : Dari berbagai sumber
Komentar
Posting Komentar